Kajian Semiotik terhadap peninggalan kebudayaan Megalitik yang nilai-nilainya mengalami penyesuaian terhadap zaman dan keadaan lingkunganya
Dalam bukunya yang berjudul ”Semiotic of Poetry”, Riffaterre (1978) mengemukakan, yang secara ringkas dapat dikatakan, bahwa pemahaman makna sebuah teks adalah sebagai kesatuan semantis. Teks itu secara informasional mengandung “arti” (meaning) pada tingkat mimetik dan memiliki “makna” (significance) pada tingkat semiotik. Mimetik berarti penggambaran kenyataan dalam sastra yang muncul dari tanda tak langsung misalnya metafora, personifikasi, simetri. Semiotik adalah segala macam yang berhubungan dengan penggabungan suatu tanda dari tingkat mimetik ke dalam tingkat makna yang lebih tinggi.
Arti yang didapatkan dari suatu tanda pada tingkat mimetik belum dapat digunakan untuk mengungkapkan maknanya. Untuk mengetahuinya harus dilanjutkan pemahaman kita hingga tingkat semiotik. Kiranya pada tahap inilah religi akan banyak membantu orang untuk mencapai pemahaman tentang hakekat teks prasasti pada tingkat kajian semiotik dari berbagai simbol yang termuat di dalamnya. Dalam hal peninggalan kebudayaan Megalitik banyak terdapat simbol-simbol yang berada pada setiap kebudayaanya.
Simbol itu mengalami penyesuaian dalam rangka untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman. Seperti halnya kebudayaan kubur Megalitik yang nilainya disesuaikan dengan zamanya. Nilai-nilai yang dipahami sebagai simbol itu diubah dengan kondisi zaman supaya dapat diterima dengan baik namun tetap mempertahankan nilai-nilai dasarnya. Dalam pembahasan ini terdapat beberapa contoh kebudayaan yang simbol-simbolnya menyesuaikan dengan keadaan zaman dan lingkunganya.
1. Nilai simbol Humanisme dalam tradisi kubur batu Megalitik di Sumba.
Nilai-nilai penting yang menjadi proyek dari Humanisme salah satunya antara lain adalah penghargaan atas dunia, penghargaan atas martabat manusia, dan pengakuan atas rasio. Penggunaan konsep humanism ini bertujuan bukan untuk menolak otoritas kekuatan supranatural, serta pandangan yang bersifat teologis, serta kepercayaan-kepercayaan animistis yang menjadi ciri khas budaya-budaya di Indonesia.
Konsep humanisme juga tidak bermaksud untuk mengabaikan adanya kepercayaan terhadap kehidupan sesudah kematian, sebagaimana dipercaya oleh seluruh masyarakat di Indonesia yang terkadang cenderung mengabaikan dunia dikarenakan alam akhirat lebih penting. Dimaksudkan dengan humanisme itu adalah sebagai penghargaan atas martabat manusia.
Pertama-tama yakni mengenai upacara pembantaian hewan korban ketika kubur batu sampai di tempatnya. Dalam hal ini hewan-hewan dibantai secara sadis, hal ini terlihat pada saat parang ditusukan di bagian tubuh dan ditebaskan ke leher binatang korban dengan sadis. Darah mengucur membasahi bumi. Beberapa masyarakat Sumba sendiri sebenarnya tidak tega melihat binatang-binatang dibantai dengan sadis.
Hewan korban ini mempunyai alasan rasional yaitu sebagai substansi pengganti, hasrat kekerasan tidak dilaksanakan dalam masyarakat secara kongkrit, tetapi hewan korban menjadi pengantinya, sehingga diharapkan dengan substitusi kekerasan terhadap hewan korban dapat mengembalikan tatanan masyarakat menjadi harmoni. Alasan rasional lainya yakni adalah kondisi nilai atau kualitas dari obyek yang dikorbankan.
Nilai atau kualitas obyek yang dikorbankan ini mengandung pengertian bahwa hewan korban itu sendiri mempunyai alasan rasional yaitu terdapat nilai yang bersifat ekonomis. Seperti yang terdapat dalam tradisi kubur batu di Sumba, setelah upacara pembantaian hewan korban, dagingnya dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat.
Satu hal yang menjadi fenomena ekstrem dalam tradisi ini yakni ritual korban yang menyertakan korban budak-budak untuk mengiringi tuanya di alam baka, dengan penjelasan apapun tampaknya bertentangan dengan kemanusia. Menurut beberapa keterangan, korban budak tersebut melakukanya dengan kerelaan mereka sendiri, akan tetapi tidak jarang mereka dipaksa oleh keluarganya. Hal ini tentunya merupakan sebuah sikap yang tidak dapat diterima dari segi kemanusiaan. Oleh karenannya ritual ini dilarang oleh hukum positif karena dianggap kriminal.
Disinilah semiotik mengaji tentang bagaimanakah nilai-nilai yang ada di zaman lampau dengan zaman sekarang tidaklah sama. Dikarenakan semakin orang berbudaya maka akan semakin menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Terbentuknya budaya adalah untuk kepentingan memanusiakan manusia. Maka, adanya korban para budak untuk menyertai tuanya dalam kubur itu sangatlah menjauhkan dari sikap menghargai martabat manusia.
Seiring dengan perkembangan intelektual dan pendidikan masyarakat yang mulai meningkat maka terjadi internalisasi dalam masyarakat Sumba. Mereka mulai belajar bahwa korban para hamba bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Sekarang korban budak-budak itu digantikan dengan hewan seperti kuda atau anjing untuk mengiringi kematian bangsawan ke alam baka.
1. Arca Megalitik Pasemah ditinjau dari kajian Semiotik
Menhir di Pasemah dapat dijumpai di Muara Dua, arca yang berbentuk menhir banyak digunakan untuk keperluan penguburan dan pada bagian bawah menhir tidak diberikan alas kaki karena menhir biasanya hanya ditancapkan di tanah. Menhir di Muara Dua berbentuk seperti tonggak bulat dengan pahatan bagian tubuh manusia secara sederhana. Arca menhir erat kaitannya dengan penggambaran nenek moyang yang dikuburkan di tempat menhir tersebut didirikan.
Menhir di Pasemah kemungkinan besar berusia lebih tua jika dibandingkan dengan arca-arca megalitik yang berbentuk dinamis. Bentuk yang sederhana pada menhir menggambarkan jika masyarakat pendukung seni pahat tersebut masih sangat sederhana dan belum mendapatkan pengaruh luar yang masuk yang turut pula memberikan warna dalam seni arca megalitik di Pasemah dengan bentuk pengarcaan nenek moyang yang lebih dinamis.
Penggambaran arca megalitik di Pasemah berbentuk tiga dimensi dengan pahatan yang berbentuk antropomormik (berbentuk manusia), menggambarkan hewan dan berbentuk pahatan manusia bersama-sama dengan hewan, selain pahatan yang berbentuk tiga dimensi juga dapat dijumpai pahatan yang berbentuk dua dimensi atau relief. Arca yang dapat kita jumpai di Pasemah adalah bentuk dari nenek moyang masyarakat megalitik Pasemah dengan tujuan untuk mendekatkan diri dengan nenek moyang dan supaya nenek moyang dapat menjaga mereka.
Arca batu gajah di Pasemah terdapat penggambaran perhiasan seperti kalung manik-manik, gelang kaki yang kemungkinan besar dari logam, gelang tangan, dan belati tipe Dongson yang disarungkan pada pinggang. Kadang-kadang di bagian pundak terdapat kain penutup punggung yang dinamakan “ponco”. Dengan penggambaran manusia yang dinamis pada arca megalitik Pasemah dapat dilihat status sosial manusia yang diarcakan oleh pemahat.
Menurut studi analogi etnografi di daerah Nias dan Sumba, tokoh-tokoh yang disegani di daerah tersebut karena kemampuan mereka dalam melindungi masyarakatnya diarcakan dalam bentuk batu pada saat mereka masih hidup dan memegang kendali kepemimpinan atas masyarakatnya. Mereka dipahatkan dengan pakaian kebesaran yang masih lengkap dengan belati dan simbol kesaktian berupa ‘Kalung Kalabubu” yang menjadi tanda bahwa ia pernah mengayau (memotong leher) musuh-musuhnya.
Baca Juga :
- Mengenali kajian semiotik terhadap nilai-nilai peninggalan kebudayaan Megalitik Bagian 1
- Mengenali kajian semiotik terhadap nilai-nilai peninggalan kebudayaan Megalitik Bagian 2
Pahatan-pahatan yang menonjolkan keidahan duniawi tersebut tentunya tidak sesuai dengan kesepakatan masyarakat megalit pada umumnya. Karena bentuk yang berbeda itu pulalah maka arca Pasemah dapat dikatakan sebagai ihwal munculnya bentuk seni pahat yang bebas sebagai hasil dari perubahan mendadak (revolusi) dari bentuk statis ke bentuk yang dinamis dimana hal ini menunjukkan kreatifitas yang tinggi dari seniman dan pendukung masyarakat megalitik Pasemah.
Seni pahat yang berbeda itu dapat disebutkan bahwa masyarakat megalitik Pasemah mempunyai local genius yang dimana sifat-sifat keaslian budaya masyarakat Pasemah tidak kehilangan identitasnya. Dengan melihat nekara yang terdapat di arca batu gajah Pasemah dimana ada seorang pria yang menyerupai prajurit menggendong nekara diatas gajah maka dapat diambil kesimpulan awal jika masyarakat megalitik Pasemah tidak menutup diri dari kebudayaan luar, mereka menyerap kebudayaan luar yang berguna untuk kehidupan mereka tetapi tidak kehilangan identitas budaya megalitiknya.
Keberadaan dari berbagai jenis satwa dalam lingkungan alam di Pasemah telah mempengaruhi hasil cipta yang berupa seni atau religi berupa arca megalitik. Lingkungan alam dengan keberadaan satwa liar seperti gajah, harimau dan ular telah menjadi acuan bagi masyarakat prasejarah Pasemah dalam membuat upacara-upacara yang mereka ciptakan dengan simbol-simbol tertentu yang melambangkan kepercayaan atau perilaku.
Beragam bentuk tersebut tentunya erat kaitannya dengan makna-makna simbolis yang terdapat dalam arca-arca megalitik Pasemah yang dinamis tersebut. Simbol atau lambang dalam arca tersebut diharapkan dapat menjadi pelindung dari keganasan lingkungan biotik dan abiotik. Masyarakat megalitik Pasemah melakukan pendekatan melalui unsur kepercayaan agar nenek moyang mereka melindungi mereka dari gangguan yang ada di sekitar mereka.