Hubungan Diplomatik Orde Lama

Pada masa pemerintahan Soekarno pasca merdeka kondisi hubungan diplomatik Australia dan Indonesia cukup baik dikarenakan pada masa proses pendirian Negara Indonesia Australia berada dipihak Indonesia. Hal tersebut tidak lepas dari dominasi partai buruh yang ada di Australia. Ketika Indonesia mentandatangani perjanjian Linggar Jati yang mana dalam perjanjian tersebut Belanda secara Defacto mengakui kemerdekaan Indonesia dan juga Belnda dan Indonesia resmi menjalin kerjasama dalam membentuk Negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Selain itu Belanda juga memiliki maksud lain yaitu ingin melakukan aksi polisional tujuan aksi militer ini ternyata dibatasi pada menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan semua gerakan perlawanan bersenjata.

Hubungan Diplomatik Masa Orde Baru

Atas tindakan Belanda itu Ali Sastroamidjojo di Canbera pada tanggal 24 juli 1947 menghimbau pada pemerintah Australia untuk mengajukan sengketa Belanda-Indonesia ke Dewan Keamanan PBB. Akan tetapi pemerintahan Australia masih ragu-raguu akan pengajuan tersebut sehingga pemerintahan Australia memilnta perwakilan India untuk mengajukan masalah Indonesia-Belanda ini kepada Dewan Keamanan PBB. Pengajuan dari India ini cukup mendapat perhatian dari dewan PBB. Australia kemudian juga prihatin terhadap keadaan di Indonesia sehingga pemerintah Australia mengusulkan masalah Indonesia ke Dewan Keamanan PBB. Rupanya usulan Australia lebih diperhatikan karena Australia pada waktu itu menjadi anggota Dewan Keamanan.

Pada sidang keamanan PBB wakil Australia Kolonel Hodgson meminta perhatian dewan bahwa permusuhan yang sedang terjadi di Indonesia bukanlah semata-mata merupakan Aksi Polisioner melainkan adalah sebuah perang militer yang menurut hukum internasional berarti konflik diantara dua negara. Dari sidang ini terdapat pula usulan dari Amerika Serikat untuk kembali pada prosedur yang tertulis pada perjanjian Linggarjati. Sehingga dari usulan tersebut dibentuklah Komisi Tiga Negara (KTN) yang berisikan Negara-negara yang berjasa atau yang membantu kedua belah pihak yaitu Negara Australia, Amerika Serikat dan Belgia. Dari KTN dan sidang di PBB ini menghasilkan perjanjian Renville (Ricklefs, 1991:340).

Setelah Agresi Militer yang dilakukan Belanda selesai dengan adanya KMB (Konferensi Meja Bundar). Diselenggarakannya KMB di Den Haag pada tanggal 23 Agustus – 2 November 1949, Indonesia diakui sebagai negara merdeka secara de facto dan de jure. Sehingga dapat menjalankan pemerintahan sendiri. Dalam KMB juga dibahas terkait mengenai masalah Irian Barat ini yang masih menjadi ganjalan dalam proses perdamaian dalam KMB. Pemerintah Australia mengusulkan dua hal pertama, menyarankan agar Irian Barat ditempatkan di bawah Perwalian Internasional dengan PBB atau Indonesia, atau Belanda memegang kekuasaan pengawasan, dan yang kedua menyarankan penundaan penyelesaian masalah Irian Barat selama setahun.

Pada tahun yang sama yaitu pada tahun 1949 di Australia telah berlangsung pemilihan umum dimana dalam pemilu tersebut dihasilkan kekalahan dari partai buruh dan memunculkan koalisi dari partai Country dan partai Liberal (Nasional) di bawah Perdana Mentri Robert Menzies. Kemenangan Partai LiberalCountry ini tentu saja merubah sikap kebijakan politik luar negeri Australia terhadap Indonesia, yang sebelumnya mendukung lewat berbagai forum internasional sekarang berbalik arah. Mentri Menzies merupakan mentri yang menjabat selama 19 tahun dan mengatur berbagai keijakan-kebijakan politik di Australia (Hamid, 1999:220).

Koalisis dua partai tersebut merupakan salah satu partai besar di Australia. Dimana partai terebut mampu mendominasi kekuasan selama 23 tahun mulai dari tahun 1949-1972. Partai ini mulai terentuk pada kisaran tahun 1944 dibawah Menzies yang kemudian mulai menarik perhatian orang-orang Australia karena mereka senantiasa mengutarkan bahwa mereka berbeda dari partai buruh secara ideology maupun strurktur pemerintahan.

Pemerintahan koalisi Liberal-Country di bawah Perdana Menteri Robert Menzies menjalankan kebijakan luar negeri berbeda dengan komando Menteri Luar Negeri Percy Spender. Kebijakan luar negeri Australia yang dipengaruhi oleh situasi Perang Dingin, membawa Australia kepada sikap pro kepada kekuatan-kekuatan Barat. Pemerintah Australia menyatakan keinginan agar Belanda tetap mengusai Irian Barat. Padahal masalah Irian Barat merupakan salah satu persoalan yang masih mengganjal dalam penyelesaian kemerdekaan Indonesia di tangan Belanda.

Pernyataan Australia bukanlah tanpa alasan yang mendasar, karena setelah invasi Jepang ke pulau Irian Barat menjelang Perang Dunia II, masyarakat dan Pemerintah Australia lebih menyakini bahwa pulau tersebut sangat penting bagi keamanan Australia. Australia lebih mengenal bangsa Belanda yang berada dalam satu kubu bangsa Barat, daripada bangsa Indonesia yang baru merdeka. Maka dari itu, Australia merasa keamanan wilayahnya akan lebih terjamin bila pulau tersebut berada di bawah kekuasaan Belanda.

Hubungan Diplomatik Australia Indonesia semakin mengalami kemunduran pada periode 1950-1962 (M & Kroef, 1970:20). Indonesia mengambil jalan keras dalam masalah Irian Barat, di mana kesatuan militer dikerahkan untuk menguasai Irian Barat. Sementara perjungan diplomasi dilakukan Presiden Soekarno dengan menggalang dunia ketiga. Sikap agresif Soekarno tersebut lebih menyakinkan Australia mengenai pentingnya Irian Barat berada dalam kekuasaan Belanda. Keyakinan demikian seolah dipertegas oleh sikap anti-Barat yang dilakukan oleh Presiden Soekarno, yang membina hubungan persahabatan dengan negara-negara yang berideologi sosialis-komunis.

Selain itu munculnya kebijakan politik poros-porosan, seperti Jakarta-Peking-Hanoi sebagai penentangannya kepada negara-negara Barat. Munculnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai salah satu dari empat kekuatan besar di Indonesia setelah pemilihan umum 1955 semakin mengkhawatirkan sistem keamanan Australia. Kenyataan menunjukkan bahwa PKI mendukung garis kebijakan luar negeri Presiden Soekarno yang bersifat agresif terhadap masalah Irian Barat.

Hal tersebut membuat Australia tak mampu berbuat apa-apa dalam menghadapi kasus Irian Barat. Hingga pada tahun 1962 melalui Act Of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah supervisi PBB pada 1969 Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Selain itu Australia juga menentang keras hubungan luar negeri Indonesia dengan Malaysia dan mengirimkan pasukannya ke Malaysia dan Singapura dalam rangka menghalangi kebijakan konfrontasi Malaysia oleh Presiden Soekarno pada kisaran tahun 1963-1966. Kemudian pada tahun 1965 di Indonesia diguncang dengan peristiwa pemberontakan PKI yang kemudian mengulingkan pemerintahan Soekarno. Setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno yang kontra terhadap Barat dan berdirinya pemerintahan Soeharto yang pro terhada Barat membuat hubungan Australia dengan Indonesia semakin membaik.

Hubungan Diplomatik Orde Lama