Konflik Rohingya di Myanmar
Myanmar negara yang menjadi negara terbesar kedua di ASEAN setelah Indonesia dengan jumlah penduduk sekiatar 60 juta jiwa. Myanmar lebih didominasi etnik burma yang secara etnis dekat dengan Tibet dan China. Etnis lainnya seperti Kharen, Shan, Rakhine, Mon, Chin, Kachin dan Kelompok etnis kecil lainnya menjadi ancaman di dalam negeri dan berkaitan dengan gerakan separatisme termasuk etnis Rohingiya.
Fortify Rights(Dewinta, 2016: 127) menyatakan Rohingya merupakan kaum minoritas beragama Islam yang sudah sejak lama menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti pembunuhan, pemerkosaan, penangkapan sewenang-wenang, tidak mendapatkan hak kewarganegaraan dan lain-lain, sehingga Rohingya sulit mendapatkan akses pekerjaan, pendidikan dan kesehatan. Konflik rohingya tentu saja mendapat perhatian dari dunia internasional dan khususnya Indonesia. Meskipun keadaan Muslin Rohingya sudah sangat memprihatinkan sejak waktu yang lama dunia internasional selama ini terlambat dalam memberi respon. Adapun hanya sebatas pernyataan belum ada tindakan konkrit.
Adapun penyebab terjadinya konflik Rohingya di wilayah Rakhien bagian Myanmar Barat ini belum bisa dipastikan secara konkrit latar belakang terjadinya konflik. Hal tersebut dikarenakan konflik antara etnis Rohingya dan pemerintahan Manmar ini sudah terjadi pasca perang dunia II. Konflik tersebut diakibatkan adanya pembantaian di wilayah Arakan yang memancing peperangan antara rekutan milisi Inggris angkatan V Rohingya dengan orang-orang Budha di Raikhen. Bahkan pada tahun 1982 Jenderal Ne Win memberlakukan Hukum Kewarganegaraan di Burma.
Dimana hukum tersebut dibagi menjadi tiga jenis yaitu, yang pertama adalah warga negara penuh merupakan keturunan warga yang tinggal di Burma sebelum tahun 1823 atau lahir dari orang tua yang sudah menjadi warga saat lahir, yang kedua adalah warga negara asosiasi adalah mereka yang memperoleh kewarganegaraan dari Undang-Undang Kewarganegaraan Persatuan 1948 dan yang ketiga adalah warga negara naturalisasi adalah mereka yang tinggal di Burma sebelum 4 Januari 1948 dan meminta kewarganegaraan setelah tahun 1982. Selain dari tiga peraturan ini maka dianggap sebagai “orang asing” dan tidak memiliki kewarganegaraan. Sedangkan bagi bangsa Rohingya sendiri bahwaa mereka mengangap bagian dari Myanmar (Choiruzzad, 2014:82).
Konflik yang terus berlanjut hingga akhirnya menarik perhatian dunia pada tahun 2012. Dimana pada tahun itu konflik yang awalnya hanya bersifat vertikal antara kelompok etnis dengan pemerintahan menjadi semakin rumit tatkala umat Budha aliran keras yang ada di wilayah Rakhien juga turut campur dalam konflik tersebut. Sehingga konflik yang terjadi menjadi vertikal Horisontal yaitu antara kelompok etnis Rohinya (muslim) dengan penduduk asli Rakhien (budha) dan juga melibatkan elemen-elemen politik serta pemerintahan Myanmar (Choiruzzad, 2014:81). Apabila dilihat dari beberapa faktor maka yang menjadi sebab dari terjadinya konflik Rohingya d Myanmar ini adalah sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi dan Politik
Tidak data dipungkiri bahwa wilayah Arakan bagian Myanmar Barat ini memang merupakan lading minyak dan gas bumi yang melimpah. Akan tetapi keadaan ini sangat jauh berbeda dengan kondisi perekonomian di wilayah tersebut. Hal tersebut menyebabkan mayoritas masyarakat menjadi bersebranga dengan partai yang berkuasa di Myanmar. Ketika terjadi perang Kamboja pemerintahan Myanmar mengangap bahwa Rohingya tidak berpihak pada masyarakat sekitar. sehingga hal tersebut menyebabkan rasa kepercayaan terhadap etnis Rohingya ini sirna.
2. Etnis Rohingya yang merupakan Bangsa tak bernegara
Dengan tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara Mmyanmar menyebabkan kesulitan masyarakat Rohingya dalam mendapatkan layanan umum seperti layanan kesehatan,pendidikan, dan perumahan yang layak (Anggoro, 2012:1). Hal tersebut menyebabkan pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Rohingya kepada pemerintahan dan menyebabkan konflik yang telah berlangsung menjadi lebih keruh.
3. Perbedaan agama
Seperti yang kita ketahui bahwa etnis Rohingya beragama Islam dan penduduk asli Karhein merupakan umat Budha. Adanya Islam diwilayah Rakhein ini menyebabkan kekhawatiran terhadap para umat Budha. Hal ini semakin buruk, karena pemerintah setempat bukannya melakukan rekonsiliasi malah seperti mendukung kelompok fundamentalis Budha (Saputra, 2010). Dari sumber berita media seorang Biksu Nasionalis Wirathu mengungkapnkan alasan konflik agama yang terjadi di Myanmar. Alasannya adalah Myanmar takut jika agama islam menyebar luas dan akhirnya menjadi agama mayoritas yang di anut. Hal ini juga didukung dengan adanya “Islamphobia” yang sedang marak didunia.
4. Adanya anggapan bahwa Rohingya merupakan saingan
Dalam hal ini penduudk asli Rakhein beranggapan bahwa dengan adanya etnis Rohingya di tanahnya akan mengurangi pendapatan. Hal tersebut dikarenakan mereka harus berbagi tanah, pekerjaan dan yang lainnya. Seperti yang kita ketahui di awal bahwa Rohingya dianggap sebagai bangsa pendatang yang tak diundang. Sehingga kehadiran mereka akan membuat persaingan dalam pekerjaan dan kewirausahaan akan semakin ketat.
5. Adanya aksi saling balas serangan
Dalam kasus ini belum ada sumber konkrit yag menyatakan penyebab asli awal mula adanya aksi saling balas serangan ini. akan tetapi dalam buku Isu Pelarian Rohingya dijelaskan bahwa awalnya adanya sepuluh pemuda Rohingya dibunuh oleh penduduk asli Rakhien setelah didakwa melakukan pemerkosaan terhadap satu wanita Rakhein. Setlah kejadian itu banyak orang Rohingya yang dibunuh da rumah mereka dibakar. Hingga akhinya banyak orang-orang dari Rohingya melarikan diri ke Bangladesh (Choiruzzad, 2014:80-81).
6. Kurang tegasnya pemerintahan Myanmar
Dalam menanggapi kasus perselisihan Rohingya ini tidak ada sifat keterbukaan dari pemerintah Myanmar. Sehingga hal yang kabur ini semakin keruh dan tidak ada kejelasan yang pasti. Para pengungsi Rohingya menuduh bahwa pemerintahan Myanmarlah yang telah membakar desa mereka. Akan tetapi Myanmar berdalih bahwa yang mereka lakukan adalah menyelamatkan keamanan negara dari unsur teriorisme dan pemberontakan. Campur tangan aparat pemerintahan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi lebih mengarah kepada kejahatan genosida. Dimana kejahatan ini dilakukan untuk mendukung mayoritas umat Budha yang merupakan penduduk asli wilayah Rakrein (Choiruzzad, 2014:82