Perang Diponegoro

Akhir daripada perang Diponegoro ini ditandai dengan tertangkapnya Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro ditangkap dengan ditipu oleh pihak Belanda. Pada mulanya Belanda telah melakukan berbagai pendekatan kotor untuk merobohkan Diponegoro, namun upaya tersebut selalu menemui jalan terjal. Sampai suatu ketika akhirnya Belanda berhasil berhubungan dengan Pangeran Diponegoro. Diponegoro akhirnya bertemu dengan pihak militer Belanda yang bertempat di Romakamal, di utara yang tidak jauh dari Roma, dulunya adalah pusat kabupaten Roma yang sekarang menjadi pasar Gombong. Sampai sekarang kata “Roma” masih melekat pada nama kios yang terletak di bagian luar pasar Gombong.

Baca Juga :

Proses Terjadinya Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro sebelumnya sudah menyetujui untuk bertemu dengan Jendral De Kock di Magelang. Suatu ketika saat Pangeran Diponegoro tiba di kediaman Residen, maka disambut oleh ratusan prajurit yang bersenjata lengkap. De Kock langsung memerintahkan untuk memborgol Pangeran, dan melucuti senjatannya. Setelah Pangeran berhasil ditangkap dan para perjuritnya dilucuti, malamnya beliau dengan kereta dibawa ke Semarang.

Di sana sudah menunggu kapal perang Korvet yang akan membawanya ke Sulawesi, tempat beliau akan diasingkan. Mula-mula, beliau dibawa ke Sulawesi Utara daerah dengan penduduk pada yang waktu itu belum jadi sasaran penyiaran agama Kristen Protestan. Sebelumnya, Kyai Modjo dengan pengikutya sudah dibuang ke sana. Tidak lama kemudian Pangeran dipindahkan ke Fort Rotterdam di Makassar, tempat tinggalnya sampai wafat pada 5 Januari 1855 dan dimakamkan tidak jauh dari benteng.

Sebenarnya sebelum beliau terjebak, Pangeran telah menyadari, bagaimana pembantunya dalam gerakan memberontak satu demi satu ditangkap oleh Belanda dengan berbagai macam cara. Semua langkah yang dilakukan Belanda itu dapat dilakukan karena adanya bantuan dari kakitangan Belanda. Setelah tertangkap, mereka kemudian ‘diselong’, maksudnya adalah diasingkan. Pada mulanyaadalah  bermakna dibuang ke Sailan (Ceylon), akan tetapi dengan seiring berputarnya waktu, makna kata yang sama itu menjadi diasingkan ke mana saja di luar Pulau Jawa.

Dengan digusurnya satu persatu pimpinan tertinggi, maka dari itu pengikut yang tersisa masih berjumlah ribuan dan tersebar di mana-mana. Namun disini kemudian Belanda tidak berdiam diri begitu saja, akantetapi Belanda terus saja mencari siapa saja yang mungkin bisa menjadi penggerak. Orang Belanda kemudian menyebut mereka dengan sebutan belhamels yang berbahaya di masa depan, dan itu harus dicegah. Dugaan yang dikhawatirkan Belanda inipun ternyata benar, karena di berbagai tempat terus saja bergolak perlawanan-perlawanan.

Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, Belanda dengan langkah yang cukup cepat kemudian melangkah untuk menertibkan daerah yang selama lima tahun menjadi ajang dilaksanakannya perang gerilya. Mereka merasakan bahwa penentangan terhadap kekuasaan Belanda terus saja terjadi, meskipun tidak secara terang-terangan. Kadang-kadang bentuiknya adalah berupa keonaran, dalam bahasa Belanda disebut dengan relletjes, atau mungkin yang terjadi adalah perampokan.

Namun secara nyata, gerakan yang disebut  dengan ‘pemberontakan’ sudah selesai. Hal ini dikarena Belanda sudah cukup mengenal lama dunia orang Jawa, penguasa dan juga rakyatnya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara pada abad ke-17, mereka kerap kali menempuh dua jalur, jalur tersebut adalah secara militer dan juga berupa keprajaan (sipil).

Dalam peristiwa penangkapan tersebut, di pihak pemberontak terdapat dua orang pemuda yang sebenarnya telah menyadari kalua mereka sebenarnya hendak ditangkap. Penyebabnya, dikarena kedekatan mereka terdapat Pangeran selama perang. Mereka adalah R.M Djojoprono dan R.M. Mangoenprawiro. Kedua merupakan seorang Sentono (Keluarga Kerajaan) yang satu putera Pangeran Moerdaningrat dan cucu Sultan Hamengku Buwono II, dan yang satu lagi merupakan adik kandung daripada Pangeran. Karena mereka bertugas sebagai apa yang sekarang diistilahkan sebagai seorang ajudan Pangeran, mereka lalu nyilep, atau masuk di bawah tanah, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah going underground.

Menyaru jadi santri di Brangkal dan menggunakan nama kecilnya serta membuang gelar kebangsawanan mereka. Maka jadilah mereka Bagoes Abdoeldjalil dan Bagoes Semedi. Meskipun sudah menyaru, pada akhirnya jatidiri merekapun tetap saja diketahui, hal ini tentunya dikarena adanya yang melaporkan, yaitu adalah telik atau mata-mata dengan istilah sekarang disebut dengan intel Belanda.

Brangkal selama perang diponegoro digunakan sebagai markas Pangeran. Sebenarnya, sudah sejak lama di tempat itu ada pesantren dan pimpinannya adalah Kyai Mohammad Djakfar. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yakni Kyai Mohammad Sjafii, yang menikah dengan BRA Siti Marjam, adik kandung langsungnya adalah Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Brangkal mendapatkan kedudukan sebagai tanah keputihan, semacam otonomi daerah, dan Kyai sebagai mufti diberi kewenangan menikahkan pasangan pengantin dari sejumlah desa yang ada di sekitar Brangkal. Hal itulah sumber pendapatan daripada Kyai untuk keperluan mengelola daerah yang dipercayakan kepadanya.

Setelah Kyai Modjo yang berasal dari daerah Solo diculik Belanda dan kemudian dibuang ke Sulawesi Utara, sebagai penggantinya kemudian diangkat Kyai Mohammad Sjafii selaku penasihat rohani Pangeran. Pemerintah kolonial jelas berterimasih kepada Jenderal De Kock karena dianggap telah berjasa cukup besar, namanya kemudian diabadikan dalam nama Kota Fort De Kock, Benteng De Kock yang berada di Sumatera Barat. Begitu Indonesia merdeka, nama Kota Fort De Kock berubah menjadi Bukittinggi.

Perang diponegoro berlangsung antara tahun 1825—30 itu oleh Belanda disebut Java-oorlog (Perang Jawa), karena dianggap sebagai perlawanan terakhir oramg Jawa terhadap upaya Belanda dalam memberlakukan kekuasaan mereka di negeri ini. Perang itu benar-benar telah menguras tenaga dan keuangan pemerintah Belanda, sehingga mereka terpaksa ‘menjual’ yang kemudian dikenal sebagai Pamanoekan-Tjiasem Landen, tanah partikelir Pamanoekan-Tjiasem yang sekarang jadi bagian dari daerah Kabupaten Subang di Jawa Barat.

Di daerah Jawa Timur ada juga tanah yang ‘dijual’ (digadaikan) seperti itu untuk menutup kekurangan anggaran negara. Pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan yang disebut Cultuurstelsel, undang-undang wajib tanam. Pokok-pangkalnya karena pemerintah sudah kepayahan menghadapi anggaran yang terus tekor. Menurut teori, jangan sampai tindakan itu membebani rakyat, karena hanya sepertiga lahan milik rakyat yang digunakan untuk keperluan tanam-paksa, dan itu dibebaskan dari pajak. Hasilnya dijual di pasar dunia. Pelaksanaannya diserahkan kepada para kepala yang pribumi. Kenyataannya, rakyat dipaksa membudidayakan tanaman yang hasilnya laku di pasar dunia. Sebagai akibatnya, penderitaan rakyat makin menjadi-jadi, tentu saja di mana-mana terjadi penyimpangan.

Perlawanan Pangeran Diponegoro membawa akibat yang cukup berat. Korban di pihak Belanda sebanyak 15000 tentara, terdiri dari 8000 ribu orang Eropa, dan 7000 orang serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 juta gulden. Di samping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak. Kemakmuran rakyat lenyap sama sekali. Akibat perlawanan Diponegoro, maka batas-batas Surakarta dan Yogyakarta diubah, daerahnya diperkecil. Berhubungan dengan tindakan ini, maka Sunan Paku Buwono VI merasa kecewa sekali, lalu meninggalkan ibu kota. Pemerintah Belanda menaruh curiga, lalu Sunan ditangkap dan dibuang ke Ambon (1849) . Dengan demikian maka berakhirlah perlawanan penghabisan dari raja-raja Jawa.