Kebijakan Ekonomi Leyasu Tokugawa

Ieyasu Tokugawa adalah orang yang pertama mendorong perdagangan  luar  negeri, mendirikan hubungan dagang dengan Inggris dan Belanda. Namun, pada tahun 1633, Shogun Iemitsu (penerus Ieyasu) kecewa dengan perdagangan internasional dan menerapkan politik isolasi. Satu-satunya hubungan perdagangan luar negeri yang tetap dibuka adalah hubungan dengan Cina dan Belanda melalui pelabuhan Nagasaki. Dia ingin Jepang  menjadi swasembada bangsa dan untuk menghindari ketergantungan pada negara-negara lain.

Pada masa kekuasaan Tokugawa di Jepang, perekonomian terdiri dari pertanian dan produk manufaktur dari Jepang. Mereka menghasilkan sutera, kain kapas, kertas, kaca. Produk manufaktur ini membuat pedagang kelas yang terdiri dari grosir, pertukaran calo, pemilik bank menjadi berkuasa dalam bidang eknomi. Perekonomian Jepang hanya terdiri dari rumah tangga dan perdagangan kecil yang mempunyai saluran ke dunia luar di Nagasaki. Produk Jepang yang utama dalam bidang pertanian adalah beras, hingga sekarang, sebagian orang  masih mengolah sawah dan memanen padi dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan pada ratusan tahun yang lalu.

Dengan berakhirnya masa Warring Barons dan naiknya Shogun Tokugawa sebagai penguasa dalam bidang politik di Jepang yang menerapkan sistem Bakuhan taiser, maka mulai terlihat beberapa perubahan ke arah perdamaian. Tokugawa berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan, sehingga era ini dapat disebut sebagai era perdamaian yang panjang. Dalam masa kekuasaan Shogunan Tokugawa yang panjang tersebut,

Jepang mengalami kemajuan yang pesat dalam sektor ekonomi. Ekonomi lama yang mendasarkan diri pada nilai tukar padi atau beras, diganti dengan sistem ekonomi uang. Hal ini sangat menguntungkan kelompok pedagang daripada kelompok militer yang penghasilannya diperoleh dari pasokan para petani yang berupa hasil bumi atau dalam pajak. Para pedagang kemudian menguasai perdagangan beras dan semakin besar pengaruhnya dalam bidang politik.

Akibatnya golongan militer dalam hal ini adalah para daimyo dan samurai semakin tenggelam dalam  lilitan  hutang  kepada  para  pedagang. Akibat dari situasi ini adalah adanya percampuran kelas yang mengakibatkan mobilitas status sosial pedagang meningkat. Dalam kondisi demikian, nasib petani adalah yang paling menyedihkan karena kondisinya justru semakin buruk. Pajak yang dipungut oleh para daimyo semakin bertambah berat dan kebutuhan golongan kuge dan buke akan uang akhirnya tetap dibebankan kepada golongan petani.

Baca Juga:

PERKEMBANGAN POLITIK MASYARAKAT JEPANG MASA KESHOGUNAN TOKUGAWA

Sistem Sankin

Ketika sistem sankin  kotai diterapkan oleh Shogun Tokugawa, maka para daimyo diwajibkan berada di Yedo selama enam bulan setiap tahunnya. Sankin kotai adalah kebijakan Shogunat Tokugawa dalam pemerintahannya. Tujuannya adalah untuk mengontrol dan mengawasi para daimyo agar tidak melakukan pemberontakan terhadap Shogun Tokugawa. Sankin Kotai sudah dikembangkan di Jepang sejak kekuasaan Toyotomi Hideyoshi.

Pihak yang paling menderita atas penerapan sistem sankin kotai ini adalah para daimyo. Sewaktu para daimyo berada di daerahnya masing- masing,  maka  keluarga  mereka  harus  ditempatkan  di  Yedo  sebagai  jaminan. Mereka  diwajibkan  membayar  pembiayaan  perbaikan  istana bakufu di Yedo dan pekerjaan umum lainnya. Dengan demikian para daimyo harus menanggung pengeluaran sangat besar dan sangat memberatkan ekonomi rumah tangga para daimyo. Untuk hal ini maka para daimyo lebih membutuhkan uang tunai daripada beras.

Para daimyo mempergunakan para pedagang menjadi agen-agen dari para daimyo untuk menjualkan beras mereka. Hal ini terjadi terutama terhadap para pedagang di Osaka, yang merupakan kota dagang  terbesar  di  Jepang  pada  saat  itu.  Para  pedagang  ini  dikenal  sebagai kuramoto, yaitu penjaga gudang beras milik daimyo dan kakeya, yaitu pedagang yang bertindak sebagai agen keuangan para daimyo.

Jadi  sebenarnya,  para  pedagang  yang  disebut  sebagai  kuramoto  dan  kakeya tersebut dapat disebut juga sebagai pengikut para daimyo. Namun, ikatan di antara mereka tidak sekuat seperti ikatan antara daimyo dengan para samurai. Sewaktu- waktu mereka dapat melepaskan diri, terutama ketika hubungan antara mereka dengan para daimyo sudah tidak menguntungkan lagi.

Kota Osaka menjadi pusat perdagangan yang sekaligus kota pelabuhan terbesar di Jepang. Sebagian besar penduduk Osaka adalah para pedagang yang menjadi gantungan hidup para daimyo ketika mereka berada di Yedo. Di antara para pedagang tersebut akhirnya ada yang menjadi kaya sekali dan menjalin hubungan yang erat dengan Bakufu. Di antara mereka adalah Konoike, Tennojiya dan Hiranoya.   Mereka adalah pedagang besar yang sekaligus mengelola bank.

Sebagai pedagang besar dan sekaligus bankir yang meminjamkan uang kepada para daimyo, mereka mengawasi sistem kredit untuk seluruh Jepang. Melalui sistem pelayanan penukaran uang dan pengiriman uang, mereka mengawasi sistem pasar uang yang ditentukan berdasarkan  pada  nilai  emas  dan  perak.  Mereka  juga sekaligus bertindak sebagai agen keuangan dari Shogun Tokugawa. Akhirnya mereka  mengontrol  jalur-jalur  keuangan  antara  Osaka  dengan  Yedo .

Usaha para pedagang ini dilindungi oleh Shogun karena merasa membutuhkan bantuan mereka. Bahkan Shogun membentuk suatu wadah sejenis gilde agar tidak terjadi  persaingan  yang  tidak  membahayakan  kedudukan  Shogun  Tokugawa. Wadah ini juga bermanfaat bagi Shogun, yaitu untuk memperoleh tambahan keuangan dan  mengawasi  agar  kemewahan  yang  diperoleh  golongan pedagang tidak menyamai kemewahan golongan bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa golongan pedagang ini sebenarnya telah menjadi kelas menengah tersendiri yang makmur dan mampu mempengaruhi penguasa.

Sistem sankin kotai memang merugikan para daimyo, namun sebenarnya justru meningkatkan lalu lintas perdagangan. Kota Yedo menjadi pusat dari semua jalur perdagangan. Hal ini memang masuk akal karena di Yedo yang menjadi pusat pemerintahan  Shogun,  juga  tinggal  para  daimyo  yang  membutuhkan  jasa  para pedagang. Politik isolasi yang diterapkan Shogun Tokugawa memang mampu memutuskan jalur-jalur perdagangan dengan luar negeri, namun tidak mampu untuk mematikan jalur-jalur perdagangan dalam negeri.

Jepang yang wilayah geografisnya terdiri dari kepulauan, justru mendorong meningkatnya perdagangan antar pulau dengan mempergunakan sarana pelayaran. Pulau-pulau yang memegang peranan penting dalam perdagangan adalah pulau Honzu dan Hokaido. Hal ini terlihat menjelang jatuhnya Shogunat Tokugawa, terdapat 10 buah pelabuhan di kedua pulau tersebut. Pelabuhan-pelabuhan   tersebut   selalu   penuh   dengan   kapal-kapal   besar   yang berbobot mati sekitar 1000 koku.

Sebenarnya  dengan  politik isolasi tersebut justru meningkatkan perdagangan antar pulau di Jepang. Hal ini disebabkan mau tidak mau Jepang harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Di samping itu, dengan tidak adanya persaingan perdagangan dengan dunia luar, maka perdagangan dalam negerinya terdorong untuk berkembang dengan pesat. Di muka telah disinggung bahwa sebenarnya golongan pedagang dapat menjadi tumpuan utama bagi keuangan Bakufu.

Tumpuan ini disebabkan oleh sikap bakufu beserta  para  daimyo  yang  hidup  secara  mewah  di  istana  Yedo.  Para pedagang sering   dijadikan   sasaran   tempat   peminjaman   uang.   Bila   keuangan   Bakufu mengalami kekosongan, maka para pedagang dipaksa untuk meminjamkan uang (go-yokin) dan meningkatkan pemberian istimewa, yaitu sejenis upeti (myogakin) dan mewajibkan mereka untuk membeli beras dari para daimyo demi stabilisasi harga.

Para pedagang sebenarnya memberi kontribusi sangat besar terhadap jalannya roda pemerintahan Shogun Tokugawa. Dengan demikian terdapat suatu jalinan erat antara  kelompok  pedagang  dengan  para  penguasa  di  Jepang.  Hal  ini mengakibatkan golongan pedagang memiliki semacam tempat perlindungan bagi usahanya yang akhirnya bermuara pada terakumulasinya kekayaan di tangan para pedagang.

Shogun yang menerapkan sistem sankin kotai justru semakin memperkuat posisi golongan pedagang. Sebaliknya, sistem ini justru mendorong pemiskinan dan kebangkrutan para daimyo dan samurai. Kekayaan dan prestise mereka akhirnya menurun dan dikuasai oleh para pedagang.