Konflik Rohingya di Myanmar yang berlangsung selama kurang lebih dua tahun ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan di Myanmar dan beberapa negara sekitar. Dampak yang ditimbulkan oleh konflik ini mulai dari perokoniman yang merosot, adanya migrasi besar-besaran dan juga dampak dari aspek kemanusiaan yang tentu menjadi sorotan utama dari adanya konflik rohingya ini. Berikut merupakan penjelasan lebih lanjut terkait dampak yang ditimbulkan akibat Konflik Rohingya:

1. Migrasi besar-besaran

Pada Juni tahun 2012 lalu, konflik antara kedua etnis memuncak. Secara umum, kekerasan dipicu oleh kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Buddha yang diduga dilakukan oleh laki-laki muslim, yang kemudian dibalas dengan pembunuhan 10 orang laki-laki muslim. Kejadian tersebut memicu kekerasan massal berupa pembunuhan dan penyiksaan, pembakaran rumah dan properti serta pemaksaan untuk meninggalkan tempat tinggal, terutama terhadap orang-orang muslim minoritas. Kekerasan massal antara lain terjadi pada Juni dan Oktober 2012 serta Maret, Mei, dan Agustus 2013. Lokasi kejadian kebanyakan terjadi di negara bagian Rakhine dan menyebar ke negara bagaian lainnya seperti di Shan (Raharjo S. N., 2015).

Akibat dari krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya, mereka memutuskan untuk mengungsi ke beberapa negara. Pada kenyataannya, etnis Rohingya sejak lama telah mengungsi ke luar negeri meninggalkan tempat tinggal mereka di Myanmar. Hal ini mengingat krisis kemanusiaan yang menimpa mereka telah sejak lama terjadi. Perpindahan orang-orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh pernah terjadi pada tahun 1978, sebanyak 220.000 orang melarikan diri ke Banglades dilatarbelakangi oleh pelanggaran HAM yang meluas dan sistematis yang mereka terima. Juga pada tahun 1992 sebanyak 250.000 orang Rohingya melarikan diri ke Banglades (Irish Centre for Human Rights, 2010).

Konflik yang berlarut-larut dan persekusi yang terjadi kepada warga etnis rohingya telah menyebabkan masalah migrasi yang kompleks, seperti tidak adanya jaminan keamanan terhadap warga Rohingya yang melarikan diri ke negara-negara tujuan pelarian, munculnya isu keamanan terkait penyelundupan manusia dan imigran ilegal, serta membludaknya arus pengungsi Rohingya ke Bangladesh yang menjadi salah satu masalah utama sejak terjadinya konflik pada Agustus lalu.

Dilansir dalam quareta.com Bangladesh sendiri yang menjadi tujuan serta penampung pengungi terbesar merupakan salah satu negara paling miskin dan paling padat penduduk di kawasan Asia. Tentu saja dengan membludaknya jumlah pengungsi Rohingya akan menimbulkan masalah lain baik terhadap negara tersebut maupun para pengungsi. ECHO (European Civil Protection and Humanitarian Aid Operations) menyebut keadaan para pengungsi Rohingya sebagai “krisis yang terlupakan”

Konflik Rohingya di Myanmar

Dampak Konflik Rohingya myanmar terhadap anak

UNICEF melaporkan bahwa 150 anak meninggal setiap hari di negara ini, sebelum mereka mencapai usia lima tahun. Bertrand Bainvel, perwakilan UNICEF untuk Myanmar mengatakan bahwa penyakit yang tidak diobati pada bayi yang baru lahir adalah salah satu faktor pembunuh terbesar. Dilansir dalam kumparan.com “Angka kematian anak diperkirakan sekitar 50 per 1.000 kelahiran hidup di Myanmar,” kata Bainvel. Jumlah ini sangat jauh jika dibandingkan dengan angka kematian di Inggris, yang hanya 4 kali dalam setiap 1.000 kelahiran hidup Myanmar telah dipuji di seluruh dunia karena reformasi politik yang terjadi pada tahun 2010. Namun kehidupan yang layak bagi anak-anak Myanmar, masih membutuhkan perjuangan panjang.

Hampir 30% anak balita menderita gizi buruk, sedang, atau parah. Adapun lebih dari separuh anak hidup di bawah garis kemiskinan. Laporan UNICEF menjelaskan bahwa Myanmar telah mengalami periode perubahan dan kesempatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tapi optimisme pada tahun 2015 dan awal tahun 2016 telah dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan kebijakan lainnya, yang bergerak lebih lamban dari perkiraan semula. Penduduk sipil kini menghadapi tantangan kemiskinan, masalah kewarganegaraan, dan perdagangan manusia. Mereka juga memiliki akses terbatas terhadap layanan kesehatan dan pendidikan. Pada daerah Rakhine, 120.000 pengungsi tinggal di tenda-tenda pengungsi akibat konflik antar-komunal yang meletus pada tahun 2012.

Dampak Konflik Rohingya pada keamanan nasional.

Influx pengungsi di sebuah negara dapat berimbas pada ketidakseimbangan keamanan nasional negara tersebut. Ketidakseimbangan ini muncul dengan cara-cara sebagai berikut:

  1. Perluasan jaringan kelompok ekstrimis dan menyebarluasnya tindak kekerasan : karena kamp pengungsi yang letaknya di area perbatasan sehinggga kurang mendapat pengawasan untuk menyediakan tempat perlindungan bagi kelompok ekstrimis, menjadi basis operasi, bahkan sebagai “lahan yang subur” untuk menjalankan rekrutmen.
  2. Fasilitas transnasional untuk penyebaran senjata, narkoba, dan kombatan : kamp pengungsian dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta dalam kondisi kehidupan yang memprihatinkan. Dengan iming-iming imbalan untuk menyambung hidup, maka kamp pengungsian dapat dengan mudah menjadi wadah untuk penjualan senjata, pendidikan militer bagi kombatan, serta penanaman ideologi untuk doktrin.
  3. Menciptakan ketegangan bilateral : karena umumnya kamp pengungsian terletak di daerah perbatasan dua negara dan aktivitas dilakukan di perbatasan, sehingga setiap aktivitas tersebut dikhawatirkan akan berdampak ke negara tetangga. Atas hal ini, negara tetangga biasanya akan bersikap defensif terhadap hal tersebut.

Dampak ini dapat dilihat pada kegiatan pengungsi Rohingya yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasi ekstrimis. Mengingat kondisi kehidupan keluarga Rohingya yang menyedihkan di kamp pengungsian, mereka dapat menjadi “sasaran empuk” untuk perekrutan oleh fundamentalis Islam atau kelompok kriminal. Kamp Rohingya di Distrik Cox’s Bazaar merupakan lahan subur bagi perekrutan oleh militan. Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan menjadi putus asa dan rentan, dan lebih mudah untuk di doktrin menjadi militan dalam upaya untuk menegakkan kepentingan sekelompok orang. Gerilyawan Organisasi Solidaritas Rohingya (RSO) dan Arakan Rohingya Islamic Front (ARIF) sudah banyak dikenal. Mereka berjuang untuk otonomi atau kemerdekaan bagi Rohingya.

Dampak Konflik Rohingya pada keamanan manusia

Banyak dari analis di Bangladesh cenderung beranggapan bahwa eksodus Rohingya merupakan salah satu sumber ancaman keamanan nasional akibat hal-hal diatas, ditambah lagi dengan beban ekonomi dan sosial yang berlebih di Bangladesh. Merupakan sebuah fakta bahwa banyak dari pengungsi Rohingya terlibat dalam berbagai kegiatan ilegal, yang ternyata tidak hanya di area perbatasan Bangladesh Myanmar, namun juga pada wilayah perkotaan diluar kamp pengungsian. Sudah menjadi pengetahuan bersama bagi masyarakat setempat bahwa pengungsi Rohingya menjual pembagian makanan yang mereka terima dari UNHCR di pasar lokal meskipun pemerintah Bangladesh telah mengeluarkan larangan untuk pedagang bertransaksi dengan pengungsi.

Tidak hanya itu, pengungsi Rohingya juga menjadi penyelundup barang-barang lain yang dijual lintas kota oleh pebisnis lokal yang memanfaatkan situasi pengungsi Rohingya dan mencari keuntungan. Terdapat setidaknya 12 titik rute perdagangan di sekitar distrik Cox’s Bazar dan tugas Rohingya adalah mengawal transportasi untuk sampai di daerah tujuan. Barang-barang yang biasanya diselundupkan adalah kayu, diesel, minyak kedelai, hewan ternak, gula, udang, beras, obat-obatan, pupuk, garam, buah, dan semacamnya.

Disamping terlibat dalam perdagangan ilegal, pengungsi Rohingya juga menimbulkan ancaman yang cukup serius dalam permasalahan ketenagakerjaan. Karena tidak mengantongi tanda pengenal sebagai pekerja imigran atau mendapatkan izin untuk mendapatkan pekerjaan, memaksa mereka untuk bersaing dengan masyarakat setempat dalam mendapatkan pekerjaan sebagai buruh harian, tukang becak, pelayan rumah makan, tukang kayu, dan lain-lain, menciptakan tekanan bagi b ban ekonomi setempat. Beberapa pengungsi Rohingya bahkan bekerja di pusat Cox’s Bazar dan Chittagong.

Hal ini kemudian dapat dipahami berdampak pada kesempatan bekerja masyarakat setempat dimana mereka sendiri sudah menunjukkan kebencian pada pengungsi Rohingya. Sementara Rohingya tidak mendapatkan kesempatan bekerja untuk bertahan dengan cara yang layak, faktanya, keterbatasan kesempatan ini menciptakan penghalang bagi masyarakat lokal, khususnya mereka yang termarjinalkan. Karena Rohingya menawarkan upah bekerja yang jauh dibawah rata-rata pasar kerja setempat sehingga menghancurkan keseimbangan upah kerja relatif yang didapat pekerja setempat pada umumnya.

Rohingya menciptakan beban ekonomi dan sosial bagi Bangladesh dengan melakukan praktek perdagangan ilegal dan penyelundupan serta “mencuri” pasar kerja setempat. Hal ini juga merusakan tatanan ketertiban yang sudah ada di wilayah sekitar kamp pengungsian dan menimbulkan gesekan-gesekan antara pengungsi dan masyarakat setempat. Ketegangan bahkan kebencian yang muncul antara kedua kelompok masyarakat dapat menjadi pemicu pecahnya konflik antara kedua kelompok masyarakat dan mengancam keamanan nasional Bangladesh. Sehingga Bangladesh harus mengambil keputusan untuk menolak lebih banyak lagi Rohingya yang masuk ke Bangladesh.