Disintegrasi Bangsa Indonesia: Konflik dan pergolakan berdasarkan Ideologi
Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu padu yang menghilangnya keutuhan, atau persatuan serta menyebabkan perpecahan. Disintegrasi berbentuk aksi demonstrasi, pergolakan daerah bagi mereka yang merasakan adanya diskriminasi, aksi kriminalitas yang tak terkendali. Permasalahan tersebut dapat menimbulkan disintegrasi bangsa yang ditandai dengan hilangnya nasionalisme pada jiwa masyarakat sehingga menyebabkan kerusuhan dan disharmonisasi. Pergolakan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh tiga hal yaitu Ideologi, Kepentingan, dan Sistem Pemerintahan.
a. PKI di Madiun tanggal 1948
Latar Belakang Pemberontakan pada tanggal 7 November 1945 PKI didirikan. Kemudian PKI yang dipimpin oleh Muso mulai mengecam kebijakan politik dan pertahanan nasional. PKI memiliki cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Pada September 48 terjadi pertempuran bersenjata antara pro PKI dan pro pemerintah. Pasukan PKI terpukul mundur sampai di Madiun dan membentuk basis disana.
Penumpasan Pasukan pemerintah mengirim operasi militer melalui Divisi Siliwangi I dan II dibawah pimpinan Kolonel Sungkono dan Kolonel Gatot Subroto. Beberapa tokoh PKI seperti D.N. Aidit dan M.H. Lukman meloloskan diri ke Tiongkok dan Vietnam. Adapun Muso berhasil terbunuh dan Amir Sjarifudin tertangkap dan di hukum mati.
b. DI/TII
Pemberontakan terjadi di Jabar, Jateng, Aceh, Sulsel, Kalsel. Di daerah Jawa Barat dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo. Latar belakangnya adalah perjanjian renville yang menjadikan terbentuknya negara bagian Pasundan dan mengharuskan pasukan RI termasuk pasukan siliwangi pindah dari Jawa Barat. Namun laskar Hizbullah dan Sabilillah di bawah pengaruh Kartosuwiryo menolak pindah dan membentuk Tentara Islam Indonesia (TII).
Untuk memberantas pemberontakan ini tentara ini menggunakan operasi Pagar Betis.
Cara penumpasan dilakukan dengan mempersempit ruang gerak pasukan DI/TII yang menyertakan masyarakat. Operasi militer tersebut dikenal dengan “pagar besi”, dan akhirnya Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962 di Gunung Beber dan dijatuhi hukuman mati.
Di daerah Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Pada pemberontakan ini diakibatkan oleh perjanjian Renville yang mengharuskan TNI pindah dari wilayah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Namun. Amir Fatah yang menjadi koordinator pasukan di wilayah tersebut tidak mau mengikuti TNI. Antara Amir Fatah dan TNI sering timbul permasalahan, sehingga Amir Fatah memberontak akibat Kartosuwiryo mengangkatnya menjadikannya sebagai Panglima TII di Jawa Tengah.
Namun pemberontakan ini tidak berlangsung lama karena tidak mendapatkan dukungan dari penduduk. Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga terjadi pemberontakan oleh K.H. machfudz yang mendukung AUI ( Angkatan Umat Islam). Pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426 dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah tentara Indonesia yang anggota-anggotanya berasal dari laskar Hizbullah.
Di daerah Sulawesi Selatan Pemberontakan dipimpin oleh Kahar Muzakar terjadi pada tanggal 7 Agustus 1953. Latar belakangnya adalah Kahar Muzakar meminta agar KGSS ( Komando Gerilya Sulawesi Selata) menjadi tentara dengan nama Brigade Hasanudin namun Pemerintah menolak dan mengharuskan untuk menjadi anggota tentara harus memenuhi syarat dan lewat seleksi.
Di daerah Kalimantan Selatan pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Ibnu Hajar. Pemberontakan bermula dari ALRI yang menjadi pasukan utama menghadapi Belanda di wilayah Kalimantan Selatan mengalami penataan ketentaraan, namun beberapa anggotanya mengalami kekecewaan dan memberontak salah satunya adalah Ibnu Hajar. Di akhir tahun 1954 Ibnu Hajar bergabung dengan DI/TII Kartosuwiryo yang menawarkan jabatan tinggi.
Pada tahun 1963 Ibnu Hajar menyerah dan dijatuhi hukuman mati. Di daerah Aceh pemberontakan di pimpin oleh Daud Beureuh. Peristiwa ini dilatar belakangi oleh ketetetapan pemerintah yang menjadikan Aceh sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara dan kehilangan status Daerah Istimewa sehingga para ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Aceh menolak kebijakan tersebut.
Baca Juga:
c. Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)
Latar Belakang
1) Perkembangan politik pada saat itu didasarkan pada Nasakom ( Nasionalisme Agama dan Komunis)
2) Kondisi Ekonomi menurun
3) Keputusan pemerintah membubarkan Masyumi dan PSI
4) PKI dengan menyusupkan Ir. Surachman, seorang tokoh PNI, kedalam PNI.
5) PKI menyebarkan fitnah bahwa pimpinan AD membentuk Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta.
Jalannya Pemberontakan. PKI membentuk komando-komando yaitu :
- Komando Pasopati
- Komando Bima Sakti
- Komando Gatot Kaca
Dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan “Gerakan 30 September” dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta. Mereka adalah : Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu : Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono. Pada berita RRI pagi harinya, Letkol Untung lalu menyatakan pembentukan “Dewan Revolusi”, sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat.
Penumpasan dalam situasi tak menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan.
Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran terhadap pimpinan dan pendukung PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas, menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.