Perang Diponegoro

Perang Diponegoro adalah perlawanan rakyat jawa terhadap pemerintahan Belanda pada tahun 1825-1830. Pangeran Diponegoro yang merupakan putra dari Sri Sultan Hamangkubuwono III dan memiliki nama kecil Bendara Raden Mas Antawirya. Pangeran Diponegoro merupakan anak selir dari Sri Sultan Hamangkubuwono III (Soejono & Poesponegoro, 2010:223). Ketika kekuasaan dipegang oleh Ayahnya tampuk kekuasaan di Kesultanan Yogyakarta seakan melemah pada pengaruh bangsa Barat. Hal tersebut membuat Pangeran Diponegoro menjadi prihatin terhadap pemerintahan kesultanan. Sehingga Ia memutuskan untuk meninggalkan kegiatan-kegiatan keraton dan menarik diri kegiatan politik di Keraton serta lebih memilih untuk menetap di Tegalrejo.

Baca Juga :

Perang diponegoro merupakan perang antara pangeran Diponegoro bersama rakyat melawan belanda karena kesewenangannya terhadap kesultanan yogyakarta (Santoso, 2016:23). Penyebab utama perang diponegoro adalah ketika pemerintah kolonial hindia belanda memutuskan membangun jalan-jalan disekitar yogyakarta, dan salah satunya melewati Tegalrejo.

Rencana pemerintahan belanda yang awalnya akan membangun jalan Yogyakarta ke Magelang melewati muntilan dirubah dan dibelokan melewati Tegalrejo. Pembelokan jalan melewati Tegalrejo yang merupakan tanah leluhur Pangeran Diponegoro membuat Pangeran Diponegoro marah dan menjadi salah satu penyebab terjadinya perang diponegoro.

Pangeran Diponegoro dinilai memiliki pengaruh yang besar di keraton sehingga pemerintah Hindia Belanda membatasi pengaruh Pangeran Diponegoro. Ketika Sultan Hamengkubuwono IV meninggal, dan digantikan oleh sultan Hamengkubuwono V yang pada waktu itu masih muda sehingga penasehat keraton memiliki andil yang lebih besar dalam mengatur pemerintahan. Melihat hal tersebut maka diangkatlah patih danurejo, karena lebih mudah dipengaruhi belanda dari pada pangeran diponegoro (Maulana, 2015).

Hindia Belanda ikut campur dalam urusan dalam urusan intern keraton menurut Diponegoro sangat bertentangan dengan hukum adat dan agama yang berlaku. Sehingga Raden Mas Ontowiryo atau lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro keluar dari keraton dan mengangkat senjata (Musafirul, 2012:2). Selain itu terjadi banyak penyimpanan yang terjadi di keraton, penyimpangan tersebut membuat pangeran diponegoro sakit hati. Penyimpanan tersebut antara lain  (Wiharyanto, 2013:13):

  • Residen Nahuys memasukan adat-istiadah dan pakaian eropa kedalam keraton.
  • Semakin banyaknya tanah-tanah yang disewakan kepada orang-orang eropa
  • Tindakan-tindakan pegawai belanda yang merendahkan pangeran diponegoro.

Banyak tindakan-tindakan lain yang merendahkan kedudukan pangeran diponegoro. Salah satunya adalah saat mengambil keputusan residen dan patih tidak mengajak pangeran diponegoro berunding. Sehingga akibatnya keputusan yang diambil selalu menguntungkan pihak hindia belanda.

Ketika patih dan raja memutuskan untuk menyambung jalan melewati tegalrejo, yang merupakan tempat yang dianggap keramat bagi pangeran diponegoro. Pangeran diponegoro menentangnya dan tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Pangeran diponegoro mengganti patok-patok yang dipasang dengan bambu runcing. Selain itu ada beberapa hal yang juga dianggap sebagai sebab lahirnya perlawanan Pangeran Diponegoro.

Pertama, kekuatan kolonial sejak awal 1800-an berusaha menanamkan pengaruh di Jawa, khususnya pada pemerintahan kerajaan yang ada (Musafirul, 2012:2). Kebanyakan perilaku orang barat yang berusaha mengubah peraturan-peraturan yang berlaku di keraton mendapat banyak tentangan dari bangsawan istana. Selain itu, kekuasaaan para pangeran dan bangsawan administratif pribumi dikurangi dengan berbagai kebijakan yang tidak menguntungkan.

Kedua, pertentangan politik yang dilandasi kepentingan pribadi dalam keraton semakin lama semakin meruncing. Pengangkatan Hamengkubuwono V yang masih kecil membawa banyak kepentingan pribadi dari Dewan Perwalian yang dibentuk. Pada tahun 1822 mulai terlihat dua kelompok dalam istana, kelompok pertama terdiri dari Ratu Ibu (ibunda Hamengkubuwono IV), ratu Kencono (ibunda Hamengkubuwono V), dan Patih Danuredja IV. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari Pangeran Diponegoro dan pamannya, Pangeran Mangkubumi.

Dan yang ketiga, beban rakyat akibat pemberlakuan pajak yang berlebihan mengakibatkan keadaan masyarakat semakin tertekan. “Misalnya, pintu rumah dikenakan bea pacumpleng, pekarangan rumah dikenakan bea pengawang-awang, bahkan pajak jalan pun dikenakan bagi tiap orang yang melintas, termasuk barang bawaannya” (Musafirul, 2012:3). Hal ini mengakibatkan Pangeran Diponegoro mendapat dukungan tidak hanya dari elit istana, tetapi juga dari kalangan masyarakat pedesaan dan elit agama yang dirugikan dengan kebijakan kolonial.

Proses Terjadinya Perang Diponegoro

Proses Terjadinya Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo ini lahir pada 11 November 1785 yang merupakan putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono III dari Keraton Yogyakarta (Priatna & Hakim, 2013: 25). Ketika tinggal di keraton, Pangeran Diponegoro merasa risih terhadap Belanda karena pihak Belanda terlalu ikut campur urusan di dalam keraton. Belanda membuat peraturan-peraturan yang memecah belah para bangsawan di dalam keraton.

Tanah-tanah milik bangsawan juga di rebut oleh Belanda dan hal ini membuat Pangeran Diponegoro memutuskan untuk menyendiri ke Tegalrejo. Tetapi ternyata Belanda juga ingin menggusur tanah Diponegoro yang akan dijadikan jalan. Pada tahun 1825, Belanda tanpa meminta izin kepada Pangeran Diponegoro membuat jalan baru dari Ngajogjakarto ke Magelang melaui Tegalrejo. Pangeran Diponegoro menolak dan mencabut patok-patok yang di pasang Belanda. Hal inilah yang memicu awal terjadinya Perang Diponegoro (Anshoriy, 2008: 75).

Pada tanggal 20 juli 1825 meletuslah perlawanan pangeran diponegoro. Belanda yang ingin menangkap pangeran diponegoro karena memberontak berhasl megepung kediaman pangeran diponegoro, namun pangeran diponegoro beserta keluarga dan pasukannya berhasil melarikan diri kearah barat menuju desa dekso dan meneruskan perjalanan ke selatan hingga ke gua selarong.

Perlawanan pangeran diponegoro meluas ke berbagai daerah. Perlawanan tersebut memperoleh banyak dukungan khusunya dari rakyat. Para petani yang terus tertndas akibat pajak yang tinggi dan kehidupannya yang terus menderita mendukung perlawanan parengan diponegoro. Para ulama dan bangsawan yang kecewa terhadapa pemerintahan hindia belanda juga ikut mendukung perlawanan pangeran diponegoro. Akibatnya diberbagai daerah mulai melakukan aksi perlawan terhadap pemerintahan belanda (Wiharyanto, 2013:14).

Kyai Mojo, yang merupakan ulama dari surakarta berabung dengan pangeran diponegoro selain itu bupati monconegoro juga memberikan dukungan kepada perlawanan pangeran diponegoro (Wiharyanto, 2013:14). Semboyang perang sabil mulai dikumandangkan, dan dibawah kepemimpinan pangeran diponegoro rakyat bersatu melwan pemerintahan belanda. Dan sejak perlawanan pangeran diponegoro, perang besar melawan belanda berlangsung selama 5 tahun.

Mula-mula perlawanan terjadi di Tegalrejo. Melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Bukit Selarong. Disana Pangeran Diponegoro membangun benteng pertahanan Goa Selarong. Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro), Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda dan Kyai Mojo bersama murid-muridnya dan Nyi Ageng Serang yang sudah berusia 73 tahun juga turut serta dalam membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda.

Pada tahun-tahun pertama, dengan semangat perang Sabil (perang membela kebenaran dan keadilan, yang apabila gugur di medan perang akan mendapatkan hadiah surga), perlawanan telah meluas ke berbagai daerah yaitu Yogyakarta dan Surakarta serta Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang sampai ke Jawa Timur. Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro telah mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa (Al Anshori, 2007: 85-86).

Gerak pasukan pos pertahanan Diponegoro berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain sehingga menyulitkan bagi pihak Belanda. Menghadapi perlawanan Diponegoro yang menyulitkan dan kuat ini membuat Belanda mendatangkan bala bantuan. Untuk melemahkan kedudukan Diponegoro, Belanda mengembalikan Sultan Hamengku Buwono II yang juga terkenal dengan Sultan Sepuh dari pengasingannya di pulau Pinang dengan maksud agar para bangsawan yang membantu Pangeran Diponegoro itu kembali ke keraton.

Akan tetapi usaha mengembalikan Sultan Sepuh itu sia-sia karena Sultan Sepuh sudah tidak berpengaruh lagi dan rakyat bersama para bangsawan memilih tetap setia kepada Pangeran Diponegoro. Karena tentara Belanda di bawah pimpinan De Kock tidak sanggup melawan siasat perang gerilya yang dipimpin oleh Sentot antara tahun 1827 dan 1830, maka Belanda menggunakan siasat berbenteng yang dikenal dengan Benteng Stelsel. Sistem Benteng Stelsel merupakan sistem dimana setiap daerah yang sudah berhasil diduduki oleh Belanda, dibangun benteng pertahanan dan di antara benteng pertahanan ada jalan/jalur penghubungnya.

Jadi sistem yang digunakan Belanda ini yaitu dari benteng satu ke benteng yang lain ditempatkan atau dihubungkan dengan pasukan gerak cepat. Hal ini dilakukan untuk memutus jaringan kerjasama Diponegoro dan tujuan dari strategi Benteng Stelsel ini untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dan memberikan tekanan agar pasukan Diponegoro menyerah. Penerapan sistem Benteng Stelsel ini cukup berhasil karena perlawanan dari Diponegoro sedikit demi sedikit dapat diatasi (Anshoriy, 2008: 74-75).

Akhir Dari Perang Diponegoro

Akhir daripada perang Diponegoro ini ditandai dengan tertangkapnya Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro ditangkap dengan ditipu oleh pihak Belanda. Pada mulanya Belanda telah melakukan berbagai pendekatan kotor untuk merobohkan Diponegoro, namun upaya tersebut selalu menemui jalan terjal. Sampai suatu ketika akhirnya Belanda berhasil berhubungan dengan Pangeran Diponegoro.

Diponegoro akhirnya bertemu dengan pihak militer Belanda yang bertempat di Romakamal, di utara yang tidak jauh dari Roma, dulunya adalah pusat kabupaten Roma yang sekarang menjadi pasar Gombong. Sampai sekarang kata “Roma” masih melekat pada nama kios yang terletak di bagian luar pasar Gombong.

Pangeran Diponegoro sebelumnya sudah menyetujui untuk bertemu dengan Jendral De Kock di Magelang. Suatu ketika saat Pangeran Diponegoro tiba di kediaman Residen, maka disambut oleh ratusan prajurit yang bersenjata lengkap. De Kock langsung memerintahkan untuk memborgol Pangeran, dan melucuti senjatannya. Setelah Pangeran berhasil ditangkap dan para perjuritnya dilucuti, malamnya beliau dengan kereta dibawa ke Semarang. Di sana sudah menunggu kapal perang Korvet yang akan membawanya ke Sulawesi, tempat beliau akan diasingkan.

Mula-mula, beliau dibawa ke Sulawesi Utara daerah dengan penduduk pada yang waktu itu belum jadi sasaran penyiaran agama Kristen Protestan. Sebelumnya, Kyai Modjo dengan pengikutya sudah dibuang ke sana. Tidak lama kemudian Pangeran dipindahkan ke Fort Rotterdam di Makassar, tempat tinggalnya sampai wafat pada 5 Januari 1855 dan dimakamkan tidak jauh dari benteng.

Sebenarnya sebelum beliau terjebak, Pangeran telah menyadari, bagaimana pembantunya dalam gerakan memberontak satu demi satu ditangkap oleh Belanda dengan berbagai macam cara. Semua langkah yang dilakukan Belanda itu dapat dilakukan karena adanya bantuan dari kakitangan Belanda. Setelah tertangkap, mereka kemudian ‘diselong’, maksudnya adalah diasingkan. Pada mulanyaadalah  bermakna dibuang ke Sailan (Ceylon), akan tetapi dengan seiring berputarnya waktu, makna kata yang sama itu menjadi diasingkan ke mana saja di luar Pulau Jawa.

Dengan digusurnya satu persatu pimpinan tertinggi, maka dari itu pengikut yang tersisa masih berjumlah ribuan dan tersebar di mana-mana. Namun disini kemudian Belanda tidak berdiam diri begitu saja, akantetapi Belanda terus saja mencari siapa saja yang mungkin bisa menjadi penggerak. Orang Belanda kemudian menyebut mereka dengan sebutan belhamels yang berbahaya di masa depan, dan itu harus dicegah. Dugaan yang dikhawatirkan Belanda inipun ternyata benar, karena di berbagai tempat terus saja bergolak perlawanan-perlawanan.

Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, Belanda dengan langkah yang cukup cepat kemudian melangkah untuk menertibkan daerah yang selama lima tahun menjadi ajang dilaksanakannya perang gerilya. Mereka merasakan bahwa penentangan terhadap kekuasaan Belanda terus saja terjadi, meskipun tidak secara terang-terangan. Kadang-kadang bentuiknya adalah berupa keonaran, dalam bahasa Belanda disebut dengan relletjes, atau mungkin yang terjadi adalah perampokan.

Namun secara nyata, gerakan yang disebut  dengan ‘pemberontakan’ sudah selesai. Hal ini dikarena Belanda sudah cukup mengenal lama dunia orang Jawa, penguasa dan juga rakyatnya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara pada abad ke-17, mereka kerap kali menempuh dua jalur, jalur tersebut adalah secara militer dan juga berupa keprajaan (sipil).

Dalam peristiwa penangkapan tersebut, di pihak pemberontak terdapat dua orang pemuda yang sebenarnya telah menyadari kalua mereka sebenarnya hendak ditangkap. Penyebabnya, dikarena kedekatan mereka terdapat Pangeran selama perang. Mereka adalah R.M Djojoprono dan R.M. Mangoenprawiro. Kedua merupakan seorang Sentono (Keluarga Kerajaan) yang satu putera Pangeran Moerdaningrat dan cucu Sultan Hamengku Buwono II, dan yang satu lagi merupakan adik kandung daripada Pangeran.

Karena mereka bertugas sebagai apa yang sekarang diistilahkan sebagai seorang ajudan Pangeran, mereka lalu nyilep, atau masuk di bawah tanah, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah going underground. Menyaru jadi santri di Brangkal dan menggunakan nama kecilnya serta membuang gelar kebangsawanan mereka. Maka jadilah mereka Bagoes Abdoeldjalil dan Bagoes Semedi. Meskipun sudah menyaru, pada akhirnya jatidiri merekapun tetap saja diketahui, hal ini tentunya dikarena adanya yang melaporkan, yaitu adalah telik atau mata-mata dengan istilah sekarang disebut dengan intel Belanda.

Brangkal selama perang digunakan sebagai markas Pangeran. Sebenarnya, sudah sejak lama di tempat itu ada pesantren dan pimpinannya adalah Kyai Mohammad Djakfar. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yakni Kyai Mohammad Sjafii, yang menikah dengan BRA Siti Marjam, adik kandung langsungnya adalah Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Brangkal mendapatkan kedudukan sebagai tanah keputihan, semacam otonomi daerah, dan Kyai sebagai mufti diberi kewenangan menikahkan pasangan pengantin dari sejumlah desa yang ada di sekitar Brangkal.

Hal itulah sumber pendapatan daripada Kyai untuk keperluan mengelola daerah yang dipercayakan kepadanya. Setelah Kyai Modjo yang berasal dari daerah Solo diculik Belanda dan kemudian dibuang ke Sulawesi Utara, sebagai penggantinya kemudian diangkat Kyai Mohammad Sjafii selaku penasihat rohani Pangeran. Pemerintah kolonial jelas berterimasih kepada Jenderal De Kock karena dianggap telah berjasa cukup besar, namanya kemudian diabadikan dalam nama Kota Fort De Kock, Benteng De Kock yang berada di Sumatera Barat. Begitu Indonesia merdeka, nama Kota Fort De Kock berubah menjadi Bukittinggi.

Perang yang berlangsung antara tahun 1825—30 itu oleh Belanda disebut Java-oorlog (Perang Jawa), karena dianggap sebagai perlawanan terakhir oramg Jawa terhadap upaya Belanda dalam memberlakukan kekuasaan mereka di negeri ini. Perang itu benar-benar telah menguras tenaga dan keuangan pemerintah Belanda, sehingga mereka terpaksa ‘menjual’ yang kemudian dikenal sebagai Pamanoekan-Tjiasem Landen, tanah partikelir Pamanoekan-Tjiasem yang sekarang jadi bagian dari daerah Kabupaten Subang di Jawa Barat.

Di daerah Jawa Timur ada juga tanah yang ‘dijual’ (digadaikan) seperti itu untuk menutup kekurangan anggaran negara. Pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan yang disebut Cultuurstelsel, undang-undang wajib tanam. Pokok-pangkalnya karena pemerintah sudah kepayahan menghadapi anggaran yang terus tekor. Menurut teori, jangan sampai tindakan itu membebani rakyat, karena hanya sepertiga lahan milik rakyat yang digunakan untuk keperluan tanam-paksa, dan itu dibebaskan dari pajak. Hasilnya dijual di pasar dunia.

Pelaksanaannya diserahkan kepada para kepala yang pribumi. Kenyataannya, rakyat dipaksa membudidayakan tanaman yang hasilnya laku di pasar dunia. Sebagai akibatnya, penderitaan rakyat makin menjadi-jadi, tentu saja di mana-mana terjadi penyimpangan.

Perlawanan Pangeran Diponegoro membawa akibat yang cukup berat. Korban di pihak Belanda sebanyak 15000 tentara, terdiri dari 8000 ribu orang Eropa, dan 7000 orang serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 juta gulden. Di samping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak.

Kemakmuran rakyat lenyap sama sekali. Akibat perlawanan Diponegoro, maka batas-batas Surakarta dan Yogyakarta diubah, daerahnya diperkecil. Berhubungan dengan tindakan ini, maka Sunan Paku Buwono VI merasa kecewa sekali, lalu meninggalkan ibu kota. Pemerintah Belanda menaruh curiga, lalu Sunan ditangkap dan dibuang ke Ambon (1849) . Dengan demikian maka berakhirlah perlawanan penghabisan dari raja-raja Jawa.