Sejarah awal jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara

Secara geografis, wilayah Islam di Nusantara terletak pada pinggiran dunia Islam. Perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari perkembangan Islam di Timur Tengah. Hubungan yang erat antara kaum Muslimin Indonesia dan saudara mereka di Timur Tengah telah tercipta sejak waktu paling awal kehadiran Islam di Indonesia. Pada awalnya hubungan ini terjalin melalui jalur perdagangan antara Timur Tengah dan Asia Tenggara.

Para pedagang muslim dari Timur Tengah mengunjungi kota-kota pelabuhan di Nusantara. Mereka tidak hanya berdagang saja, melainkan juga dalam pengenalan Islam kepada penduduk setempat. Namun, penetrasi Islam lebih dalam di Nusantara tidak dilakukan oleh pedagang ini, melainkan oleh Ulama Timur Tengah dan Asia Selatan yang datang ke wilayah Nusantara karena panggilan dari kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Ulama tersebut  mampu melaksanakan tugas mengembangkan kehidupan Islam di kalangan penduduk pribumi. Karena kemakmuran kerajaan Islam di Nusantara, banyak Muslimin yang diberikan material untuk pergi ke daerah Islam lainnya di Asia Selatan atau Timur Tengah. Mereka pergi untuk melaksanakan ibadah haji, dan ada pula yang mengembara untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam.

Kehadiran para penuntut ilmu dari Nusantara ini oleh penduduk Mekah dan Madinah disebut sebagai masyarakat Jawi di Tanah Suci. Dengan mempertimbangkan hubungan ekonomi, diplomatik, dan keagamaan yang ekstensif antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dan Timur Tengah, sangat mungkin bahwa mahasiswa Jawi telah menuntut ilmu sebelum abad ke-17 di berbagai tempat di sepanjang jalur perjalanan haji.

Tokoh-tokoh dalam Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Nusantara Abad Ke-17

Jaringan Ulama Internasional

Pada akhir abad pertengahan keadaan Islam pada saat itu sedang dalam ketegangan pada perbedaan yang lebih berorientasi pada Syariah dan Sufisme. Pada perkembangan sufi yang pada awalnya mengembara dengan jalan tasawuf kemudian berganti menjadi proses menyerahkan diri secara mutlak terhadap khalifah pada kisaran abad ke III/IX beberapa kelompok sufi menjembatani jurang antara Islam yang berorientasi Syariah dan tasawuf.

Adanya ahadits sebagai instrument yang mendukung penyatuan kedua orientasi tersebut. Tujuan dari instrument ini adalah untuk memajukan kepentingan tasawuh dan membawanya ke pangkuan syariah. Adanya hal terebut telah mendukung untuk perkembangan tasawuf moderat dengan struktur ide yang konsisten ortodoks.

Hal tersebut disebarkan oleh Al-Ghazali. Al-Ghazali mengorientasikan islam pada syariah, menjadikan tasawuh sebagai bagiannya, dan memperbaiki sufisme dari aliran-aliran yang tidak islami.

Baca Juga: Sejarah Islam Wali Songo

Ketika kesadaran manusia semakin tinggi maka mereka lebih mengutamakan bagaimana cara mengembangakan sebanyak mungkin peninggalan sufisme agar bisa sejalan dengan syariah. Tujuan tasawuf itu sendiri dirumuskan kembali sebagai upaya penguatan keimanan dalam batas syariah agar mencapai kemurnian batin. Hal inilah yang menimbulkan munculnya “neo-sufisme”.

Perkembangan inilah yang nantinya mendorong para ulama untuk menekan pembaharuan dalam tasawuf. Kesadaran akan pentingnya pembaharuan ini telah melanda banyak muslim di seluruh dunia. Titik focus pada perkembangan tasawuh adalah dua kota besar yaitu Mekkah dan Medinah yang merupakan kota tempat berkumpulnya para ulama. Tidak diherankan ketika dua kota ini dijadikan tempat untuk saling bertukar informasi apalagi pada kisaran abad ke XI/XVII alat transportasi dan komunikasi semakin maju maka pertemuan gagasan semakin berkembang pula.

Banyaknya kapal yang berlabuh di wilayah India yang secara tidak langsung telah memperbaiki jalur perdagangan yang memungkinkan untuk datang lebih banyak para ulama dari seluruh dunia. Dengan hal tersebut, maka berkembang jaringan ulama internasional ( cosmopolitan). Jaringan para ulama yang terbentuk pada umumnya berasal dari kota Hijaz akan tetapi banyak pula para ulama yang datang dari negara lain. Meningkatnya kosmopolitanisme dalam jaringan ulama ini membantu para penuntut ilmu untuk meluaskan intelektualnya.

Para penuntut ilmu ini juga memanfaatkan untuk belajar dari pertemuan mereka dengan para ulama ketika datang ke tanah suci untuk menjalankan ibadah haji. Analisis lebih lanjut pada abad ke-17 jaringan ulama ini tidak ditentukan oleh aliansi madzab fikih. Inti dari pendukung jaringan ulama ini adalah Madzab Syafi’I yang didukung oleh Madzab Maliki. Dengan tingkat kedisiplinan yang tidak lagi berorientasi pada tasawuf namun lebih ditekankan pada studi hadis.

Pada abad ini tumbuh pesat mengenai hadis hingga diterbitkanlah kumpulan dari enam puluh hadis yang dikumpulkan kembali dari kitab-kitab, dalam hal ini terlihat minat para ulama untuk mengembangkan hadis dan kemudian menyebarkan kepada umat untuk di amalkan. Pada saat ini para ulama dalam pengembangan hadis lebih berorientasi pada kebutuhan praksis dan ilmiah. Pengkajian hadis difungsikan sebagai pembaharu dari tasawuf, dan dipandang sebagai rekronstruksi nilai-nilai moral masyarakat islam.

Dalam pengkajian hadis diterapkan system guru yang memberi dan mengarahkan murid. Pada dasarnya guru utama yang terdapat dalam jaringan ulama internasional ini tidaklah secara langsung mendukung kebangkitan islam. Akan tetapi mereka telah mengkaji lebih lanjut, mengajarkan, dan mengajarkan mengenai misi aktif untuk merekronstruksi nilai sosio-moral masyarakat Islam.