Peran tokoh ulama dalam Jaringan Islam Timur Tengah dan Nusantara
Ulama merupakan salah satu tokoh penting dalam penyebaran agama Islam. Para tokoh ulama yang belajar mengenai ilmu islam diwilayah Timur Tengah kemudian mulai menyebarkan ke berbagai Negara. Rata-rata ulama bersal dari wilayah Timur Tengah, namun seiring dengan pesatnya perkembangan agama Islam banyak para pelajar yang menempuh pendidikan Islam diwilayah Timur Tengah dan kemudian menjadi tokoh ulama.
Banyak faktor yang mendukung perkembangan ulama ditimur tengah salah satunya adalah dengan adanya media perdagangan yang kemudian menciptakan sebuah jaringan ulama dalam hal pendidikan islam, aliran islam dsb. Berikut merupakan tokoh-tokoh ulama yang berperan penting adalam jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara pada kisaran abad ke-17.
Ahmad Al-Qushashi dan Ibrahim Al-Kurani
Ahmad Al-Qushashi dan Ibrahim Al-Kurani merupakan dua orang tokoh yang berpengaruh dalam jaringan keulamaan di Mekkah dan Madinah pada abad ke-17. Ahmad Al-Qushashi dan Ibrahim Al-Kurani menjalin hubungan yang baik dengan ulama lainnya dan memiliki murid yang banyak. Ahmad Al-Qushashi memiliki nama lengkap Al-Sayyid Ahmad ibn Muhammad ibn Yunus ibn Ahmad al-Sayyid Ala’ al-Din al-Madani al-Qushashi. Lahir di Madinah pada tahun 991/1538. Al-Qushashi merupakan seorang faqih yang tidak kaku dan seorang sufi yang memiliki sikap hangat dan bersahaja.
Al-Qushashi berusaha mengkombinasikan syariah dan tasawuf. Al-Qushashi merupakan sosok yang ahli dalam imu hadist dan ilmu tafsir. Pada hal syariah, Al-Qushashi mengikuti mazhab Maliki dan pada bidang tasawuf berupa turuq, seperti Syattariyah, Naqshabandiyah, dan Qadiriyah. Berdasarkan catatan dari Brockelman Al-Qushashi telah menghasilkan karya tulis sekitar 12 sampai 50 buah. Karya tulis tersebut berupa hadis, usul al-figh, tafsir, dan tasawuf.
Ibrahim Al-Kurani merupakan salah satu murid dari Ahmad Al-Qushashi. Ibrahim Al-Kuruni dipilih Ahmad Al-Qushashi untuk menggantikannya sebagai pemimpin tasawuf, khususnya sebagai Syekh Tarekat Syattariyah. Ibrahim mendapat julukan dari al-Jabarti sebagai Syaykh al-shuyukh. Ibrahim merupakan sosok yang pandai dalam menulis buku, terutama yang berkaitan dengan fikih, tauhid, dan tasawuf. Ibrahim Al-Kurani pernah menjadi pengajar di Al-masjid Al-Nabawi di Madinah. Pada ajarannya, Ibrahim menekankan adanya kesesuaian antara kalam dan tasawuf dengan syariah.
Menurut Ibrahim Al-Kurani ketiga ajaran tersebut penting untuk mendapat pengertian yang benar mengenai ketauhidan. Terdapat sekitar 42 sampai lebih dari 100 karya tulis Ibrahim, tetapi yang diterbitkan baru dua buku. Salah satu karya Ibrahim yang belum diterbitkan berjudul Ithaf al-Dhaki bi Sharh al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi. Menurut Drewes, tulisan tersebut ditulis atas permintaan dari Al-Qushashi dengan tujuan untuk memberikan pengertian yang benar kepada rakyat jawi atas tulisan pengarang India Muhammad ibn Fadl Allah al-Burhanpuri yang berjudul al-Tuhfaf al-Mursalah ili Ruh al-Nabi.
Ibrahim menulis jawaban atas al-masa al-jawiyyah, masalah-masalah orang jawa. Terdapat Kitab Tuhfah al-Mursalah yang populer di jawa. Tetapi, penyebaran buku-buku ini mengalami kendala, terutama banyak rakyat jawa yang belum memiliki pemahaman yang benar mengenai syariah sebelum mengenal ajaran esosentris. Sehingga banyak masyarakat yang menyimpiang dari jalan yang benar.
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat diketahui jika Ahmad al-Qushashi maupun Ibrahim al-Kurani telah mempunyai hubungan dengan muridnya yang berada di Jawa. Adanya tulisan dari Ibrahim yang berjudul Ithaf al-Dhaki bi Sharh al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi, talisan tersebut telah memberikan petunjuk jika pada masa itu, Ibrahim al-Kurani menulis karnyanya untuk membentuk spiritual intelektual masayarakat jawi dan menghindarkan mereka dari kesesatan. Pada karyanya, Ithaf al-Dhaki bi Sharh al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi tersebut, Ibrahim ingin menunjukkan, bahwa konsep wahdat al-wujud merupakan konsep yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip wahyu. Ibrahim ingin menjelaskan, terutama pada rakyat Jawa tentang pentingnya kombinasi antara tasawuf dengan syariah.
Baca Juga:
– Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Nusantara Abad Ke-17
– Sejarah Islam Wali Songo
Syekh Yusuf dan Abd Al-Ra’uf
Syekh Muhammad Yusuf Abu al – Mahasih Hadiya Allah Taj al-Khalwati al-Maqqasari yang juga dikenal penduduk Makasar sebagai Tuanta Samalaka yang lahir pada 1036/1626. Syekh Yusuf dari kecil sudah belajar tentang lmu-ilmu islam, tetapi cendereung kepada ilmu Tasawuf. Sekitar tahun 1054/1644 dia berlayar menuju Banten dengan menggunakan kapal Portugis.
Kemudian untuk memperdalam ilmu keagamaannya ia belajar kepada Syekh al-Raniri, tetapi banyak pedapat bahwa Syekh al-Raniri di Aceh dan Syekh Yusuf tidak bertemu dengannya karena Syekh al-Raniri telah kembali ke kampung halamannya di Gujarat, India. Setelah itu Syekh Yusuf kembali melanjutkan perjalanannya ke Makkah dan Madinah, tetapi pada awalnya beliau hanya untuk melaksanakan ibadah haji. Di Madinah Syekh Yusuf beremu dengan Abd al-Ra’uf dan sama-sama belajar tentang agama islam.
Belajar tentang ilmu keislaman selama kurang lebih 22 tahun, kemudian Syekh Yusuf menjadi yang berpengaruh dalam menyebarkan gagasasn Timur Tengah ke Indonesia. syekh Yusuf juga mengajarkan gagasan pembaruan yang bertujuan untuk menyebarkan islam yang sejalan dengan syariah.
Tetapi pembaruan yang dilakukan oleh Syekh Yusuf ini mendapat pertentangan diantara bangsawan yang ada di Makasar karena dianggap mengganggu tatanan sosial-keagamaan yang sudah ada. Syekh Yusuf kembali meninggalkan Makasar karena kurangnya kekuatan untuk mengatasi pertentangan yang dilakukan oleh bangsawan dan kembali ke Banten
Syekh Yusuf menetap di Banten dan menikahi putri Sultan Ageng Tirtayasa (1062-1104/1651-1692) dan diangkat sebagai raja muda dan Multi Kesultanan. Setelah menjadi Sultan di Banten tetapi ia sering pergi ke Makassar untuk menjaga ajaran keislaman di sana. Tetapi Syekh Yusuf ditahan oleh Belanda dan diasingkan di Afrika Selatan dan wafat disana pada 1111/1699.
Abd al-Ra’uf al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili (1024-1105/1615-1693) dilahirkan di sengkel, sebelah utara Fansur sebelah barat Aceh. Ia telah belajar keagamaan sampai ke Timur Tengah dan wafat pada tahun 1071/1661 ketika ia kembali ke Aceh. Abd al-Ra’uf belajar berbagai ilmu agama islam dan “zahir” seperti tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an, hadis, fikih dan dasar Islam di Yaman. Bersama dengan Ahmad al-Qushashi dan Ibrrahim al-Kurani, Abd al-Ra’uf diangkat menjadi Khallifah Syattariyah dan menjadi inti jaringan Internasinal dunia pada abad 17.
Abd al-Ra’uf adalah seorang penulis yang mahir. Menurut Voorhoeye, ia menulis kurang lebih sebanyak 12 karya bdaik dalam bahasa Arab mauun bahasa Melayu. Karyanya berkaitan dengan ibadah, fikih, tafsir, dan tasawuf.
Kelompok Penghubung
Di Nusantara terdapat dua tokoh yang menyebarkan agama, tepatnya di daerah Makasar. Para penyebar agama islam di Makassar yaitu Syekh Yusuf al-Maqassari dan Abd al-Ra’uf al-Sinkili. Proses pengajaran dari Syekh Yussuf cenderung lebih Radikal dibandingkan dengan pengajaran Syekh al-Ra’uf. Syekh Yusuf al-Muqassari lebih mementingkan penyebaran gagasannya atau pembaharuan di luar daerah Makassar yang dianggapnya lebih efissien. Sedangkan Syekh al-Ra’uf lebih lembut dan toleran pada proses penyebarannya di tanah Makassaar.
Selain perbedaan tersebut kedua Syek tersebut memiliki dua kesamaan yaitu memiliki guru yang sama “ Guru Ibrahim al-Kurani” dan yang kedua sama-sama menjadi penghubung ulama internasional dengan ulama regional. Dengan penghubungan ini Syekh Yusuf menjelaskan konflik yang yang muncul dari proses universalisasi lokal. Hubungan ini membantu jaringan ulama secara efektif untuk merekrut ulama muda untuk menyebarkan setia pembaruan islam.
Abd al-Ra’uf sangat berpengaruh bagi para ulama muda yang ingin menambah ilmu dari para kalangan ulama tersohor. Selain kecerdikannya menambah jaringan, ia juga sangat berpengaruh karena kedalaman ilmu. Ulama muda yang menempuh pendidikannya diberikan inisial turuq Syattariyah, Naqshabandiyah, Qadiriyah dan Qistiyah yang menerima gagasan Ortodoksi.
Penyebaran agama ini berkembang pesat juga di pulau jawa baik jawa barat, jawa tengah maupun jawa timur. Penyebaran ini dilakukan oleh murid Syekh al-Ra’uf yang bernama Abd al Muhyi yang berkembang pesat karena meningkatnya kontak antara kesultanan Banten dan Timur Tengah tepatnya pada abad ke-17.
Di Banten atau Jawa Barat berkembang pengajaran Ortodoks yang semakin tidak mengherankan kenapa proses penyebarannya berkembang pesat di jawa. Penyebaran ini juga mengatasi Tasawuf yang berbau pantheistik dari Hamzah Fansuri yang terlebih dahulu menyebarkan doktrinnya di jawa. Jaringan yang sama berhasil menyebarkan ajarannya yang membawa Tarekat Syattaruyah ke Bengkulu. Hal ini yang menyebabkan bangkitnya Tarekat Qushashiyah yang diduga Ahmad al-Qushashi sebagai pendirinya.
Murid dari Syekh al-Ra’uf juga memiliki murid yang bernama Syekh Burhan al-Din dari Minangkabau. Syek al-Din belajar pada Syekh a-Ra’uf hanya beberapa waktu saja dan setelah belajar ia kembali ke kampung halamannya (Ulakan). Dia ditunjuk oleh Sekh Ra’uf sebagai Khalifah Syattariyahdan dia juga dikenal sebagai Tuan Ulakan yang mendirikan Surau di kampung Ulakan.
Pada saat itu pengajaran disuraunya sangat efektif sekali dalam proses transmisi dan difusi gagasan-gagasan baru islam. Dia sangat dihormati di Minangkabau sebagai pemegang otoritas tunggal di Minangkabau. Selain itu, ia juga dipandang sebagai “ pemimpin semua makhluk di wilayah Minangkabau baik didunia maupun di akhirat kelak”.